Umat beragama mana pun merasa itu BUKAN
kalimat yang pas dan pantas diucapkan seorang pejabat, berseragam dinas,
di depan umum pula. Dan untunglah, kisah di atas cuma fiktif, sekadar
komparasi terhadap statement Pak Basuki tentang Surah Al-Maidah 51.
Beliau merasa berhak menafsirkan karena
mengaku 9 tahun belajar di sekolah Islam (padahal itu sekolah negeri
biasa, bukan sekolah Islam). Terlepas dari itu, selama 9 tahun saya
belajar di sekolah Katholik, yang saya pahami, umat Kristiani yang taat
dilarang menghina kitab suci agama orang lain.
Demikian pula Islam. Muslim yang taat
dilarang menghina sesembahan orang lain (baca QS 6: 108). Saling
menghormati. Menahan diri. Sekiranya ini semua diterapkan, betapa
damainya dunia ini. Lebih damai daripada Bumi Serpong Damai, hehe.
Terkait Al-Maidah 51 ini, saya sempat
bertanya kepada guru saya. Dan inilah jawabannya, “Bukan Al-Maidah 51
saja. Ada juga ayat-ayat serupa, seperti Al-Imran 28, Al-Imran 149 dan
150, An-Nisa 144, Al-Maidah 57, At-Taubah 23, dan Al-Mujadilah 22.”
Lalu guru saya melanjutkan, “Sayangnya,
segelintir Muslim mencari kisah-kisah darurat untuk membantah ayat-ayat
itu. Misalnya, ketika para sahabat meminta perlindungan ke raja non
muslim di Afrika. Atau, ketika pengungsi Suriah hijrah ke Jerman dan
Belgia, yang artinya siap dipimpin oleh non muslim. Padahal itu semua
darurat.”
Repotnya, kalau Muslim mengutip Al-Quran
dituduh sentimen SARA. Lha, giliran yang lain mengutip Al-Quran dan
bebas menafsirkan, dianggap ‘inilah demokrasi’.
Kita sama-sama tahu, Al-Quran adalah
sumber hukum tertinggi bagi Muslim. Sangat dimuliakan. Kalau
diolok-olok? Wajar saja kalau Muslim jadi berang dan meradang, termasuk
saya. Apakah selama ini saya sentimen terhadap Pak Basuki? Hehe, insya
Allah nggak.
Lihat saja status FB saya selama 5 tahun
terakhir. Adakah menjelekkan beliau? Nggak ada. Yang ada malah status
saya memuji keharmonisan beliau bersama sang istri. Ada fotonya pula.
Apakah saya SARA? Begini.
Saudara-saudara dari ayah saya banyak yang Khatolik. Ada pula yang
Hindu. Kami hidup rukun sejak kecil. Tak mungkin saya sentimen terhadap
pemeluk agama lain. Islam pun tidak mengajarkan saya bersikap seperti
itu.
Salah satu tante saya, seorang aktivis
gereja. Dia sayang sama saya. Dan saya pun sayang sama dia. Setiap kali
bertemu, saya selalu mencium tangannya, meminta doanya, dan juga
mendoakannya. Perbedaan iman tidak menghalangi kami untuk saling
menghormati dan menyayangi.
Sekali lagi, apakah saya SARA? Mungkin
malah sebaliknya. Sejak 2010, saya sering menulis tentang ‘dekatnya’
Islam dan China dulunya, baik di nusantara maupun di dunia. Gegara
tulisan-tulisan ini, sampai-sampai saya dituduh macam-macam. Hehe,
ada-ada saja.
Adapun artikel tentang Pak Basuki kali
ini TERPAKSA saya tulis, karena ini soal prinsip. P-r-i-n-s-ip. Saya
tahu, sebagian follower saya akan kecewa dengan artikel saya ini. Yah,
mau gimana lagi? Saya harap teman-teman semua bisa mengerti dan
berempati. Kalau boleh, paragraf pertama dibaca lagi.
Dan saya tidak mau berdebat dengan
teman-teman Muslim yang mengabaikan ayat-ayat tertera di atas dan tetap
memilih Pak Basuki. Itu hak politik Anda. Sekali lagi, itu hak politik
Anda. Saya cuma ingin menyampaikan satu hal. Boleh?
Saya mungkin sama seperti Anda. Mengaku
Muslim, tapi jarang sholat on time dan jarang buka Al-Quran. Namun saat
Al-Quran diolok-olok bahkan ulama yang mengutipnya dianggap melakukan
pembodohan, mestinya hati kita terusik. Ini soal prinsip.
Contoh lain. Anda subuhan tanpa qunut,
yang lain berqunut. Tetap saja Anda TIDAK BOLEH berseru ‘pembodohan’
terhadap mereka yang berqunut. Padahal ini soal khilafiyah. Untuk
hal-hal khilafiyah saja, kita sesama Muslim dilarang berseru ‘bodoh’
apalagi untuk hal-hal prinsip seperti Al-Maidah 51.
Saya pun sedikit lega. Setelah sekian hari bersikeras bahwa dirinya tak bersalah, akhirny
a Pak Basuki mengakui kesalahannya dan
meminta maaf. Karena video versi ringkas dan lengkapnya, isinya
sama-sama merendahkan Al-Maidah 51 dan merendahkan ulama-ulama yang
mengutipnya.
Yah memang perlu penyesalan dan permintaan maaf. Semoga insiden seperti ini tidak terjadi lagi.
Lantas, bagaimana dengan proses hukum
terhadap Pak Basuki? Perlukah diteruskan demi mencegah kejadian-kejadian
serupa? Seingat saya, Ibu Rusgiani sempat dipenjara 14 bulan karena
menghina agama Hindu di Bali.
Kejadiannya tepat 3 tahun yang lalu,
Oktober 2013. Tapi, terus-terang saja, saya ini bukan orang hukum dan
setahu saya sudah banyak pihak yang mengurusi itu. Adapun concern saya
cuma satu, kemuliaan Al-Quran.
Terakhir, himbauan saya buat seluruh
Muslim. Secara hakikat, mungkin kejadian ini teguran buat kita. Lha,
kita saja jarang membuka Al-Quran. Itu kan artinya kita kurang
menghormati Al-Quran. Kalau kita saja kurang menghormati, gimana mungkin
orang lain mau menghormati?
Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Yang setuju, bantu share dan forward ya. (*)
Sumber tulisan: Channel Telegram Ippho Santosa, dipublikasikan ulang di Page Facebook Jonru.